Omset Turun Drastis, Jualan Cilok dan Kripik Untuk Penuhi Kebutuhan
Di tengah kondisi sulit tak ada pilihan selain bertahan, kejayaan dengan omset ratusan juta per bulan sudah pernah dirasakan, namun pandemi Covid-19 merubah segalanya. Bagi para pengrajin kulit Tanggulangin, kebutuhan non rumah tangga sudah tak bisa lagi terpenuhi, berjualan cilok bahkan kripik terpaksa harus dilakoni demi bertahan hidup.
Sidoarjo – Kejayaan sentra pengrajin kulit Sidoarjo sempat mengema hingga seantero Indonesia, kualitas yang mumpuni membuat kerajinan tas dan koper warga Tanggulangin selalu memiliki tempat di hati para konsumen.
Peristiwa lumpur lapindo pada tahun 2006 silam serta serbuan barang impor dari Tiongkok terpaksa menghentikan langkah sukses para pelaku industri tas dan koper yang berada di Desa Kedensari, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Sempat bangkit di tahun 2012 dengan program revitalisasi yang disiapkan pemerintah, namun mimpi buruk kembali dirasakan para pengrajin kulit Tanggulangin akibat pandemi Covid-19.
“Dulu kondisi sangat ramai antara pengrajin serta konsumen yang datang, hanya yang kuat saja yang bertahan yang tidak kuat ya gulung tikar, padahal dulu saban hari ada 8 sampai 10 bus wisatawan yang datang,” Ujar Choiri, Pengrajin kulit Tanggulangin.
Keahlian warga Tanggulangin dalam membuat tas berasal dari orang Asing, yang menikahi warga lokal pada tahun 1970-an.
“Dulu Wak Ten dinikahi oleh orang Cina yang membuat tas kemudian para pekerjanya dari warga sekitar, kemudian ketika itu pemerintah menerbitkan PP no 10 sehingga para orang asing harus kembali ke negaranya,” ungkap Choiri saat ditemui Eksis.id.
Lama kelamaan para pekerja akhirnya memutuskan untuk membuat kerajinan kulit sendiri dan dijual sendiri, meskipun tak punya modal mereka saling patungan. Hingga akhirnya pada pertengahan tahun 1970-an usaha tas dan koper mereka semakin berkembang dan dikenal.
Seiring berjalannya waktu keterampilan pengrajin bertambah, permintaan pasar juga semakin meningkat tajam. Pada tahun 1976 koperasi Intako berdiri, hingga tahun 1981 Intako berhasil membangun toko tas atau showroom.
“Pertama kali toko atau showroom yang ada di Tanggulangin adalah punya koperasi Intako,’’ kata dia.
kesuksesan sentra Industri Kecil Menengah (IKM) tas dan koper Tanggulangin tersebar dari mulut ke mulut, sejumlah mesin pendukung membuat produksi tas dan koper semakin banyak. Selain mengembangkan produksi, mereka juga membuka toko atau showroom untuk menarik pelancong berburu produk IKM Tanggulangin.
“Tahun 2000 telah muncul 250 toko sepanjang 2,5 kilometer, perputaran uang mendulang sangat banyak, reseller juga tersebar di luar jawa Sulawesi, hingga Kalimantan,’’ terang Choiri.
Covid-19 Ujian Baru IKM Tanggulangin
Masa keemasan IKM kulit Tanggulangin kembali diuji dengan pandemi Covid-19, beragam cara terus dilakukan para pengrajin untuk tetap bertahan hidup, penurunan omset hinga 85 % membuat kebutuhan non rumah tangga tak lagi mampu tercukupi. Khoirul Huda, pengrajin kulit Tanggulangin menyebut di waktu normal dahulu dirinya bisa meraup omset antara 50 sampai 70 juta, bahkan di masa kegiatan kampus dan perkantoran bisa mencapai 100 juta per bulan.
“Selama pandemi pertama utuk menambah penghasilan terpaksa jualan cilok, namun karena musim hujan jualan cilok terendam banjir akhirnya beralih ke julan keripik,’’ ungkap Khoirul Huda.
Upaya Khoirul Huda untuk tetap bertahan terus dilakukan, termasuk menjual hasil kerajinan tas dan kopernya secara door to door, pasalnya minat pembeli tas dan koper sangat lesu, sehingga dibutuhkan upaya jemput bola.
“sempat jualan seperti pedagang kaki lima, ke tempat tempat yang rame biar tas dan koper nya bisa laku, Kalau dibilang terpenuhi ya terpenuhi kalua dibilang berat ya sangat berat tapi ya gimana lagi tetap semangat untuk mencari pemasukan lain demi keluarga,” kata Khoirul Huda.
Khoirul Huda juga menyebut saat ini para pelanggannya yang dulu mayoritas ibu-ibu kini tak lagi membeli produknya, di tengah kondisi krisis seperti ini para ibu ibu lebih memilih untuk membeli kebutuhan prioritas.
“Kalau dulu mayoritas yang beli tas ya ibu-ibu, kalau sekarang sudah ganti konsumennya sama anak remaja,” terangnya.
Bergairah di Pasar Digital
Ditengah himpitan pandemi Covid-19 membuat pengrajin kulit Tanggulangin terpaksa harus terus memutar otak agar bisnis yang telah dijalaninya sejak puluhan tahun silam tetap eksis.
Pujiono, penggurus Intako menyebut saat ini beberapa orang telah diberikan bimbingan untuk pemasaran online, lantaran kondisi pasar offline sudah sangat sepi.
“Disini ada 3 yang dibimbing dari dinas perindustrian, soalnya kan ngak mudah, mengatur gambar dan lain lain, pokoknya ada yang bimbing semuanya merupakan karyawan dari Intako,” kata Pujiono.
Pujiono menuturkan, kondisi persaingan saat ini sudah sangat ketat, terlebih di eranya pasar online, sehingga mau tidak mau para pengrajin harus terus memperkuat pasar digital dengan belajar pemanfaatan teknologi digital. Dengan merambahnya ke pasar online produk dari IKM kulit Tanggulangin tetap eksis dan tak kalah dengan produk – produk yang lain.
“Karena penjualan melalui offline sudah sangat sepi, ya mau ngak mau harus ke online,” ujarnya.
Selain memanfaaatkan para karyawan Intako yang telah diberikan bimbingan pemasaran online, IKM Kulit Tanggulangin ini juga dibantu oleh para milenial, mulai dari pengambilan gambar, hingga memasarkannya melalui online.
“Alhamdulillah pemuda milenial membantu barang produksi kita dengan mempostingnya di online,” ujar Khoirul Huda, Perajin kulit Tanggulangin.
Namun karena proses pembuatan tas yang cukup Panjang, tak jarang juga para pengrajin kulit Tanggulangin yang tak mau menjalankan peluang pemasaran secara online. Menurutnya untuk memproduksi tas dan koper sudah sangat menguras energi, sehingga jika harus ditambah dengan pemasaran online sangat melelahkan.
Namun, buah dari pemasaran online yang terus dilakukan akhirnya menghasilkan, produk IKM kulit Tanggulangin semakin laris di pasar digital.
“Saat ini warga Tanggulangin khususnya pengrajin kebanjiran order dari online bahkan peningkatannya saat ini lebih dari 100 persen, bisa mengalahkan pasar impor,” Ujar Sahlan Pengrajin Kulit Tanggulangin.
Keberhasilan IKM kulit merambah pasar online semakin membuat para pengrajin bergairah, terlebih melalui pasr online omset yang diraup bisa sangat tinggi, bahkan permintaan dari pasar online sudah berdasarkan kemampuan dari masing masing pengrajin.
“Berapapun yang kita produksi masih kurang di pasar digital. Sedangkan produksi di pasar digital tidak ada habisnya, Pasar digital luar biasa menyerap hasil produksi para pengrajin kulit Tanggulangin,” ujarnya.
Meski begitu mereka masih berharap agar barang barang dari kerajinan kulit ini dapat bergairah tak hanya di pasar online tapi juga di pasar offline.
“Karena untuk melihat tas yang bagus tidak cukup hnaya dari gambar saja, tapi juga harus dilihat dan dipegang, untuk melihat jahitannya, tekstur kulitnya, warnanya yang asli seperti apa,” imbuh Sahlan.
Sahlan menambahkan, gairah untuk membangkitkan pasar offline juga diperlukan, termasuk peran serta dari pemerintah, karena dengan bangkitnya pasar offline juga membuat penyerapan tenaga kerja akan bertambah.
“Kalau pasar offline lari kan ada yang tenaga kerja, untuk penjaga toko, serta ekonomi di sekitar toko yang tidak berprofesi sebagai pengrajin kulit juga ikut mengalami kenaikan, seperti warung makan atau tukang parkir,” Pungkas Sahlan pada Eksis,id. *(Lan )